· Perspektif Subjektif adalah
merupakan perspektif yang tidak mudah meramalkan fenomena yang terjadi karena
realitas dipandang sebagai suatu proses kreatif yang memungkinkan setiap
individu menciptakan apa yang diharapkan. Fenomena sosial senantiasa bersifat
dinamis, bahkan bersifat Polisemik (Multimakna) sehingga realitas sosial yang
terjadi seringkali dikonstruksikan oleh kelompok-kelompok tertentu, hingga
menibulkan negosiasi berikutnya untuk menentukan realitas soail. dan
menimbulkan pemaknaan berdasarkan pandangan individu masing-masing, sebab
setiap individu mempunyai andil dalam membentuk realitasnya.
Secara ontologis, paradigma
kualitatif (Subjektif) berpandangan bahwa fenomena sosial, Budaya dan tingkahlaku
manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan
juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas konteksnya. Sebab
tingkah laku (sebagai fakta) tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja
dari setiap konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan
ke dalam hukum-hukum tunggal yang deterministik dan bebas konteks.
· Perspektif Objektif adalah
merupakan perspektif yang memandang bahwa perilaku manusia sangat bisa
diramalkan atau diprediksi, karena pendekatan objektif memandang bahwa perilaku
manusia dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia dapat
dikelompokkan kedalam bagian-bagian yang bekerja seca sistematik dan
terstruktur berdasarkan pembagiannya masing-masing. Perilaku manusia dapa
diorganisasikan dan rasional dalam bentuk respon terhadap realitas eksternal
yang dialaminya secara tertata.
Secara epistemologi, paradigma kuantitatif berpandangan
bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris.
Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren
berarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondensi berarti sesuai
dengan kenyataan empiris
·
Aplikasi “kekerasan
terorisme di indonesia” pendekatan Subjektif dan objektif
Pada dasarnya kekerasan adalah tingkah
laku seseorang yang berlawanan dengan nilai moral. Saat ini kekerasan telah membudaya
di kalangan masyarakat dan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, mulai dari
kasus tawuran, pembunuhan, pengrusakan, penyerangan, pemerkosaan dan Kekerasan
Terorisme. Bukan menjadi hal yang tabu’ dan asing lagi di telinga kita, terjadinya
mutilasi, pembunuhan dan tindak kekerasan sudah menjadi familiar, terjadi terus
menerus, terbiasa dan kemudian membudaya. Tindakan terorisme merupakan suatu tindakan yang terencana, terorganisir dan berlaku dimana saja dan kepada siapa saja. Tindakan teror bisa dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai kehendak yang melakukan, yakni teror yang berakibat fisik dan/atau non fisik (psikis). Tindakan teror fisik biasanya berakibat pada fisik (badan) seseorang bahkan sampai pada kematian, seperti pemukulan/pengeroyokan, pembunuhan, peledakan bom dan lainnya. Non fisik (psikis) bisa dilakukan dengan penyebaran isu, ancaman, penyendaraan, menakut-nakuti dan sebagainya. Akibat dari tindakan teror, kondisi korban teror mengakibatkan orang atau kelompok orang menjadi merasa tidak aman dan dalam kondisi rasa takut (traumatis). Selain berakibat pada orang atau kelompok orang, bahkan dapat berdampak/berakibat luas pada kehidupan ekonimi, politik dan kedaulatan suatu Negara. Kekerasan saat ini sudah menjamur bagi generasi republik Indonesia. Informasi kekerasa selain merebah dinegari ini ternyata menjadi isu penting bagi negara luar. padangan negara-negara luar terhadap bangsa Indonesia saat ini merupakan negara yang menyeramkan, karena isu-isu yang berkembang mengenai kekerasan yang sudah menjadi isu dunia. tuntutan untuk Survive dan ketidak mungkinan untuk mengelakkan, menyebabkan masyarakat belajar hidup dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Pada akhirnya berlahan-lahan kita mulai menerima karena terbiasa. Kekerasan pada dasarnya tergolong kedalam dua bentuk yaitu kekerasan sembarang yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terrencana dan kekerasan yang terkordinir yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik diberikan hak atau tidak dalam peperangan atau terorisme. perilaku kekerasan semakin hari semakin nampak dan sungguh sangat mengganggu ketentraman hidup masyarakat. maupun diri kita secara pribadi. istilah kekerasan juga mengandung kecendrungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Apakah dengan kekerasan dalam televisi atau film menyebabkan orang beringas? pertanyaan-pertanyaan ini mencoba mengungkapkan efek komunikasi massa pada perilaku khalayaknya pada efek dan tindakan dan gerakan yang tampak pada kehidupan sehari-hari. berbicara mengenai efek kehadiran media massa, Secara sepintas kita juga sudah menyebutkan efek mengalihan seperti pengalihan kegiatan dan penjadwalan pekerjaan sehari-hari. Dalam hal ini media massa terlihat semata-mata sebagai benda fisik. Bertitik tolak dari argumen dan asumsi bahwa terorisme dapat dilakukan oleh negara atau sekelompok masyarakat, maka kini kita akan mencoba mendiskusikan lebih jauh faktor agama dalam hal ini Islam khususnya karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam dan Islam sendiri sering muncul dalam perkembangan isu-isu terorisme belakangan ini, terutama aksi terorisme yang terjadi di Indonesia sering dilakukan dengan dan atas nama agama Islam dan juga karena kekerasan atas nama agama menimbulkan pandangan sempit bagi orang-orang terhadap agama yang dijadikan tameng dalam aksi kekerasan atau terorisme itu.
PESPEKTIF
OBJEKTIF
Terorisme sebagai suatu fenomena
kehidupan, nampaknya tidak dapat begitu saja ditanggulangi dengan kebijakan baik.
Hal ini karena, terorisme terkait dengan kepercayaan/ideology, latar belakang
pemahaman politik dan pemaknaan atas ketidak adilan sosio-ekonomik baik lokal
maupun internasional. Oleh karena itu, perlu sebuah pendekatan kebijakan
criminal yang integral dalam arti baik. Tertangkapnya para teroris tersebut
maka telah terungkap fakta yang jelas dimana terorisme lokal telah mempunyai
hubungan erat dengan jaringan terorisme global. Timbul kesadaran dan keyakinan
kita bahwa perang melawan teroris mengharuskan kita untuk melakukan sinergi
upaya secara komprehensif dengan pendekatan multi-agency, multi internasional
dan multi nasional. Untuk itu perlu ditetapkan suatu strategi nasional dalam
rangka perang melawan terorisme. Salah satu perilaku prososial ialah
memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.
keterampilan seperti ini biasanya diperoleh dari saluran-saluran interpersonal:
orang tua, atasan, pelatihan atau guru. Pada
dunia moderen ini, sebagaian dari tugas mendidik telah juga dilakukan
media massa. Buku, majalah, dan surat kabar sudah kita ketahui mengajarkan
kepada pembacanya. Stimulus yang dapat dijadikan teladan diperhatikan karena
sifat-sifat stimuli itu karena karakteristik orang yang Nampak stimuli. Menurut
Bandura, peristiwa yang menarik perhatian adalah yang tampak menonjol, yang
sederhana terjadi berulang-ulang. Menurut teori belajat sosial dari
Bandura, orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya; stimuli menjadi
teladan untuk perilakunya. Orang belajar bahasa Indonesia yang baik setelah
mengamati dalam televisi. wanita juga meniru potongan rambut Lady Di yang
disiarkan dalam media massa. Penyajian cerita atau adegan kekerasan dalam media
massa dapat diduga akan menyebabkan orang melakukan kekerasan pula, dengan kata
lain mendorong menjadi agresif. Agresif diartikan disini bahwa; “setiap bentuk
perilaku yang diarahkan untuk merusak atau melukai orang lain, yang menghindari
perilaku seperti itu” (Baron dan Byrner, 1979:405). Studi dalam Ilmu Komunikasi telah
mencatat beberapa penelitian dan teori dalam menjelaskan keterkaitan antara
kekerasan di televisi dan pengaruhnya terhadap anak-anak. Albert Bandura
melalui teori Social Cognitive menjelaskan bahwa perilaku merupakan
hasil dari faktor lingkungan dan faktor kognitif, teori ini mempertimbangkan
unsur peringatan dan berperilaku dan stimulus sebagai hal penting, tetapi hal
itu juga mempertimbangkan proses berfikir terhadap pembelajaran pada manusia.
Teori pembelajaran sosial secara khusus relefan dengan komunikasi massa karena
bnayak perilaku yang kita pelajari melalui permodelan (Modeling) merupakan
pengamatan pertama di media massa. menurut Winarso (2005:). Analisis Bandura
terhadap pembelajaran sosial mencakup unsur-unsur utama analisisnya adalah:
proses perhatian (attentional process), Proses pengingatan (Retentio Process)
proses reproduksi motorik (motor reproducsi proces), dan proses motovasi
(motivational process). Selanjutnya Winarson (2005:175)
menyatakan bahwa media massa menduduki peran penting dalam teori pembelajaran
sosial karena sebagian besar dari kita terbatas dalam hal yang dapat kita amati
secara langsung selama kegiatan rutin sehari-hari, banyak yang kita pelajari. Dapat
dilihat pada media massa khususnya media visual. Demikian pula media massa
dapat meneruskan perilaku dan pola-pola pemikiran yang baru secara terus
menerus kepada sekelompok besar orang. Teori pembelajaran sosial menganggap
media sebagai agen sosial yang paling utama serta dengan keluarga, kelompok,
sebaya dan guru-guru di sekolah. Dugaan utama teori pembelajaran
sosial adalah bahwa kita dapat mempelajari tindakan-tindakan yang ditampilkan
ditelevisi atau film. Dugaan lainnya bahwa peniruan abstrak dapat mendorong
kita melakukan tindakan-tindakan kejam dalam kehidupan sesungguhnya, dugaan
ketiga adalah bahwa tindakan masa bodoh (desensitisasi) dapat diakibatkan dari
tayangan kekerasan yang berulang-ulang di televisi atau film, sehinngga
memungkinkan peluang tindakan agresi dalam kehidupan sesungguhnya. Teori lain yang menjelaskan antara keterkaitan tayangan
kekerasan di televisi dengan pengetahuan, sikap dan perilaku penonton adalah, teori kultivasi yang berasumsi
bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu citra realitas yang tidak
konsisten dengan kenyataan. Selain itu sumber media yang digunakan sangat
terbatas sehingga menyebabkan ketergantungan hanya pada satu media yakni
televisi. Sedangkan pecandu ringan
televisi membentuk media hanya sebatas realitas media saja. Dimana para pecandu
ringan mengakses media yang lebih
luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih variatif. Karena kenyataan
ini, maka pengaruh televisi tidak cukup kuat pada diri mereka. Gagasan tentang cultivation theory
atau teori kultivasi untuk pertama kalinya dikemukakan oleh George Gerbner
bersama dengan rekan-rekannya di Annenberg School of Communication di
Universitas Pannsylvania tahun 1969 dalam sebuah artikel berjudul the
televition World of Violence. Menurut Wood (2000) kata ‘cultivation’
sendiri merujuk pada proses kumulatif dimana televisi menanamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya.
- Seberapa besar media dapat
memberikan efek yang tajam dari tayangan kekerasan teroris terhadap penontonnya?
Tujuan penulisan ini,
diharapkan bisa bermanfaat untuk pihak-pihak yang berkepentingan dengan
penerapan media, (Pengguna media atau audiens dan media massa). Selain itu
diharapkan bisa memberikan inspirasi bagi kalangan akademis dalam mengaji
penelitian-penelitian sejenis selanjutnya
Hipotesis dari
keseringan menontot tayangan kekerasan akan berdamapak terhadap perilaku
audiens atau khalayak dalam menonton tayangan kekerasan.
PERSPEKTIF
SUBJEKTIF
Teror atau
Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi
kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan
terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Kekerasan
adalah suatu tindakan yang ditunjukan kepada orang lain dengan maksud melukai,
menyakiti dan membuat menderita baik secara fisik, maupun psikis. Mengenai
pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana
Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif
Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan
suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga
sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu
menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang
subjektif. Oleh karena tidak mudahnya untuk membuat suatu pengertian tentang
terorisme yang dapat diterima secara umum oleh semua pihak.
- Kurangnya pendidikan agama yang dia peroleh atau dengan kata lain dia tidak menghayati atau memahami keseluruhan esensi dari agama yang dia anut.
- Kurangnya pengawasan serta perhatian dari orang tua atau keluarganya serta kerabat baiknya dalam mengendalikan cara pergaulannya di dalam lingkungan sehingga ia mudah dihasut.
- Lingkungan pergaulan, di manapun itu, yang tidak kondusif serta berpotensi menumbuhkan pola pikir sempit atau skeptis bahkan radikal terhadap agama yang ia anut. Sebagai contoh akhir-akhir ini banyak orang-orang Indonesia yang pergi ke Timur Tengah atau Afganistan bahkan beberapa negara lainnya seperti Filipina yang di mana pada awalnya tujuan mereka pergi ke sana ialah untuk studi namun kemudian setelah pulang kembali ke Indonesia mereka berubah menjadi teroris diakibatkan oleh pengaruh lingkungan serta ajaran selama mereka berada di sana dari orang-orang berpola pikir sempit serta radikal.
Segala bentuk kekerasan atas nama
agama merupakan suatu hal yang tidak bisa diterima oleh pihak manapun. Karena
jika kita melihat pada bentuk dan substansi agama, maka tidak ada satupun agama
di dunia ini yang mengajarkan manusia untuk berbuat anarki dan kekerasan
terhadap manusia lainnya. Terlebih-lebih jika perbuatan kekerasan tersebut
dilakukan atas nama suatu agama tertentu. Justru sebaliknya, semua agama di
dunia ini mengajarkan kasih sayang, toleransi, cinta damai, saling mengasihi
antar sesama manusia lainnya. Sehingga secara otomatis segala bentuk tindakan
kekerasan dilarang oleh semua agama. Secara singkat, penyebab yang paling utama hingga
menyebabkan orang melakukan tindakan kekerasan atas nama agama ialah karena
orang tersebut memiliki pandangan yang sangat sempit mengenai agama tersebut
atau dengan kata lain dia hanya melihat agama itu sebatas bentuknya saja tanpa
memahami substansi yang sesungguhnya, sehingga kekerasan yang dia lakukan
dipandang sebagai tindakan yang benar dalam agamanya menurut pandangannya.Semua
komponen masyarakat baik keluarga, tokoh masyarakat, pemuka agama dan
pemerintah Indonesia perlu saling bekerja sama dan berkoordinasi secara baik,
teratur, dan sistematis dalam pemberantasan segala bentuk kekerasan yang
terjadi yang dalam hal ini dilakukan atas nama agama pada khususnya.
Upaya-upaya pencegahan yang telah diutarakan di atas, akan benar-benar
terlaksana dengan baik dan benar jika pemerintah dan seluruh komponen
masyarakat mau bekerja sama dan saling menaruh kepercayaan yang baik dan
tinggi.
- Bagaimana makna terorisme bagi tokoh masyarakat,pemerintah, maupun kalangan
akademisi dizaman sekarang ini?
Penulisan ini semoga memberikan pemaknaan bagi
kalangan yang pemerintah, masyarakat, maupun kalangan akademisi dalam
menjeneralisasikan makana terorisme dalam melihat fenomena sosial disekitarnya.
Hidup di kehidupan yang plural, bukan berarti kita bebas
untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama, tetapi seharusnya kita
lebih banyak menumbuhkan semangat toleransi antar umat beragama. Dengan semakin
banyaknya aksi kekerasan atas nama agama di Indonesia ini, membuat kita sebagai
masyarakat Indonesia harus mampu memahami dan mempelajari bentuk dan substansi
agama secara lebih mendalam dan benar agar kita semua mampu menggunakkan akal,
jiwa, hati, nalar, dan rasio kita dalam menerapkan nilai-nilai kebaikan dari
ajaran agama tersebut dengan benar dalam kehidupan nyata dan bukannya melakukan
tindakan kekerasan yang dilandaskan agama tersebut.
Prinsip
|
Pespektif Subjektif
|
Perspektif Objektif
|
Ontologi
|
Segala bentuk kekerasan atas nama agama merupakan suatu hal yang tidak
bisa diterima oleh pihak manapun. Karena jika kita melihat pada bentuk dan
substansi agama, maka tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan
manusia untuk berbuat anarki dan kekerasan terhadap manusia lainnya.
Terlebih-lebih jika perbuatan kekerasan tersebut dilakukan atas nama suatu
agama tertentu. Justru sebaliknya, semua agama di dunia ini mengajarkan kasih
sayang, toleransi, cinta damai, saling mengasihi antar sesama manusia
lainnya. Sehingga secara otomatis segala bentuk tindakan kekerasan dilarang
oleh semua agama.
|
Terorisme
sebagai suatu fenomena kehidupan, nampaknya tidak dapat begitu saja
ditanggulangi dengan kebijakan baik. Hal ini karena, terorisme terkait dengan
kepercayaan/ideology, latar belakang pemahaman politik dan pemaknaan atas
ketidak adilan sosio-ekonomik baik lokal maupun internasional.
Penyajian
cerita atau adegan kekerasan dalam media massa dapat diduga akan menyebabkan
orang melakukan kekerasan pula, dengan kata lain mendorong menjadi agresif.
Agresif diartikan disini bahwa; “setiap bentuk perilaku yang diarahkan untuk
merusak atau melukai orang lain, yang menghindari perilaku seperti itu”
(Baron dan Byrner, 1979:405).
|
Aksiologi
|
Penulisan ini semoga memberikan pemaknaan bagi kalangan yang pemerintah,
masyarakat, maupun kalangan akademisi dalam menjeneralisasikan makana
terorisme dalam melihat fenomena sosial disekitarnya
|
Tujuan penulisan ini, diharapkan bisa
bermanfaat untuk pihak-pihak yang berkepentingan dengan penerapan media,
(Pengguna media atau audiens dan media massa). Selain itu diharapkan bisa
memberikan inspirasi bagi kalangan akademis dalam mengaji
penelitian-penelitian sejenis selanjutnya
|
Epistemiologi
|
Bagaimana
makna terorisme bagi tokoh masyarakat,pemerintah, maupun kalangan akademisi
dizaman sekarang ini?
|
Seberapa besar media dapat
memberikan efek yang tajam dari tayangan kekerasan teroris terhadap
penontonnya?
|